Selasa, 18 Oktober 2016

Shodaqoh...

Copas
#Sedekah itu harus di paksa
.
*Pelajaran dari Seorang Supir Taksi*
Pukul 4 menjelang subuh, keretaku berhenti di stasiun Tugu Yogya. Aku cukup terlelap di kereta tadi. Aku turun di pintu belakang stasiun, di area pasar kembang. Suasana masih gelap dan udara sejuk menerpaku. Kuperhatikan toko dan warung di stasiun masih buka. Mungkin mereka buka sepanjang hari.
Orang-orang bergegas keluar. Aku pun bergegas untuk mengejar waktu shalat Fajar dan Subuh. Seseorang menunjukkan arah ke masjid terdekat. Karena jalan yang kuambil salah, aku ketinggalan shalat Subuh berjamaah. Tak lama kemudian, kutemukan masjid itu. Akhirnya aku tunaikan shalat secara sendiri. Ada rasa sesal di hatiku ketinggalan shalat berjamaah. Namun ada hal lain yang datang kemudian, yang aku syukuri.
Usai shalat, di halaman masjid aku merapikan barang-barangku. Aku buka aplikasi taksi uber. Uber telah lama menjadi kawan perjalananku. Tapi tidak pagi itu. Ketika jariku hendak menekan tombol request, tiba-tiba seseorang menghampiriku dan menyapaku. Seorang yang usianya aku tebak sekitar menjelang usia 60 tahun.
"Bapak dari luarkota ya, apakah perlu taksi? Mari saya antar. Saya supir taksi", dia menawarkan taksinya.
Aku memandangnya. Seorang bapak yang berwajah jawa dengan kopiah di kepalanya. Keramahannya membuatku tidak berpikir panjang. Langsung saja aku iyakan, "Oh, baik pak. Antarkan saya ke daerah Wirobrajan".
Dengan gesitnya dia meraih koperku dan kami menuju taksinya bersama-sama. Singkat cerita kami saling berkenalan. Kami berbincang-bincang tentang dirinya, keluarganya dan kota Yogya. Entah bagaimana awalnya, obrolan kami sampai ke soal sedekah.
"Mas, kulo (saya) tidak berniat menyombongkan diri, tapi boleh tidak saya berbagi cerita", kata bapak supir taksi.
"Dengan senang hati Pak," ujarku. Kulihat waktu masih 1/2 jam perjalanan lagi. Dan mengapa tidak mendengarkan cerita orang-orang di tempat yang aku kunjungi?
"Saya sudah lama sekali menyupir taksi mas. Dan selama itu saya selalu berhenti di masjid untuk shalat 5 waktu. Jadi sering kali saya berhenti di 5 masjid yang berbeda untuk shalat. Saya punya kebiasaan mas di masjid-masjid yg saya datangi itu", dia berdiam sejenak.
"Apa kebiasaan Bapak di masjid itu?" sengaja kupotong, karena rasa penasaranku.
"Saya selalu sodakoh 5000 rupiah di setiap masjid itu. Alhamdulillah, hal ini saya lakukan sejak bbrp tahun belakangan ini. Dulu awalnya hanya 1000, 2000 atau sesuka hati saya saja".
Alisku sedikit naik, sejenak nafasku tertahan. Wow. Masya Allah.
"Jadi bapak selama bertahun-tahun ini mengeluarkan 25 ribu sehari untuk bersedekah?"
"Iya, Mas alhamdulillah".
Rasanya sulit bagiku mencerna seorang supir taksi yg penghasilannya utk menghidupi keluarganya sendiri saja sudah susah, mau bersedekah sebanyak itu (btw, anaknya 5 org dgn 1 istri, dan bapak itu satu2nya breadwinner - satu2nya yg menafkahi keluarga). Kalau mau sedekah kan, bisa berapa saja, tidak usah dipatok 5000, batinku berkata.
"Jadi bapak bersedekah sebanyak 750rb sebulan?" ku tegaskan lagi apa yg kudengar saraya otak matematikaku berjalan.
"Kurang lebih begitu Mas, Alhamdulillah," (kalimat pujian ini dia ulang2 terus) setiap menjawab pertanyaanku.
"Setiap habis Shalat 5 waktu di masjid, saya selalu menyisihkan 5000 rupiah di kotak amal masjid".
"Emang berapa pendapatan bapak sebulan sbg supir taksi? Kok bisa menyisihkan 25rb tiap bulan?" tanyaku penasaran.
"Hmm, saya tidak memiliki hitungan yang Mas maksud. Sodakoh saya tidak tergantung besarnya pendapatan...Sebagai supir taksi, berapa besar seh pendapatan saya? pokoknya, saya merem mas, setiap habis shalat, saya sodakoh".
"Selama bertahun-tahun bapak lakukan itu. Kok bisa istiqomah?"
"Saya memaksa diri saya mas. kalau ga gitu, ga sodakoh saya".
"Bapak tidak takut kekurangan, misal untuk belanja keluarga, atau keperluan sekolah anak"?
"Ngga mas. Alhamdulillah semua Allah cukupi. Ajaibnya setiap saya sodakoh, langsung Allah ganti. Saya langsung dapat penumpang. Seperti tadi pagi sama mas".
Lalu bapak supir melanjutkan. Laju mobilnya sedikit dipelankan.
"Apa yang saya keluarkan itu, mas, demi Allah, tidak ada apa-apanya dgn yang Allah berikan pada kami. Anak-anak dan istri saya alhamdulillah sehat, tidak pernah diberi penyakit yang aneh-aneh. Mereka sekolahnya lancar. Saya, puluhan tahun, bawa taksi, alhamdulillah, tidak pernah kecelakaan. Keluarga kami rukun. Hidup kami tenang. Berkah, mas. Saya tidak bisa yg lain-lain, cuma sodakoh aja".
Berat aku mendengarkan semacam ini keluar dari lisan seorang supir taksi. Berat karena aku berkaca pada diriku yang malu kepada bapak itu. Betapa mulianya bapak itu.
Betapa malunya diriku yang cuma mengalokasikan 2000 rupiah saja untuk masjid, itupun kulakukan jika shalat Jumat. Belum lagi dibandingkan bapak supir taksi tadi, yang selalu shalat 5 waktu di masjid. Betapa buruknya perhatianku kepada perintah Allah dan Nabi untuk selalu shalat berjamaah. Mengapa aku tidak mampu memaksa diriku seperti bapak tadi. Ampuni aku ya Allah.
Kami diam sejenak. Aku tenggelam dalam kubangan diriku sendiri. Hingga bapak tadi membuyarkan lamunanku, "Mas kita masuk gang ini?"
"Iya," "masuk 50 meter sebelah kanan, itu rumahnya".
Sebelum kami berpamitan, dia memandangku dan berkata, "doakan kami ya mas. Mas orang berilmu kan?"
Sontak aku berkata, "Bapak yang seharusnya mendoakan saya. Saya mgkn berilmu, tapi belum beramal. Sedang bapak sudah. Kita sama-sama mendoakan ya".
"Njih Mas. sama-sama. saya pamit dulu".
Terimakasih ya Allah, Engkau telah mengatur pertemuan ini. Pertemuan yang sarat pelajaran dan teguran bagiku.
St. Tugu Yogya, Sep 2016
Hafiz Abdul Kadir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar