Senin, 25 Juli 2016

Kisah Abdullah bin Amr bin Ash RA

Abdullah bin Amr bin Ash RA adalah putra dari seorang ahli strategy perang dan negarawan ulung, Amr bin Ash,  tetapi ia lebih dahulu memeluk Islam daripada bapaknya itu. Ia seorang yang saleh, banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, kecuali jika sedang berjihad di jalan Allah. Ketika menyandang senjata untuk mempertahankan dan meninggikan kalimat-kalimat Allah,  ia akan berada di barisan terdepan karena sangat merindukan memperoleh ‘rezeqi’ kesyahidan.
Dalam usianya yang masih muda, aktivitas ibadahnya begitu tinggi, siang berpuasa, malam dihabiskan dengan tahajud dan membaca Al Qur'an sehingga ia mampu mengkhatamkannya dalam sehari. Ia begitu zuhud, bahkan tidak pernah ia membicarakan masalah duniawiah sejak ia berba'iat kepada Nabi SAW, padahal lingkungan keluarga termasuk kalangan bangsawan dan kaya-raya. Ketika ia dinikahkan, beberapa hari kemudian ayahnya datang mengunjungi dan bertemu istrinya. Amr bin Ash berkata, “Bagaimana keadaan kalian?”
Istrinya berkata, “Sungguh aku tidak mencela akhlak dan kesalehannya, tetapi sepertinya ia tidak membutuhkan seorang wanita di sisinya!!”
Amr bin Ash menatap tidak mengerti, tetapi kemudian ia mendapat penjelasan, kalau Abdullah bin Amr sama sekali belum menyentuhnya dalam beberapa hari setelah menikah itu. Ia begitu intens beribadah seperti biasanya, sehingga tidak ada sedikitpun waktu untuk istrinya. Hal itu memaksa Amr bin Ash melaporkannya kepada Rasululah SAW, sehingga  beliau campur tangan untuk ‘mengerem’ semangat ibadahnya. Tetapi di hadapan Rasulullah SAW, Abdullah bin Amr justru berkata, "Ya Rasulullah, ijinkanlah saya menggunakan sepenuh tenaga saya untuk beribadah kepada Allah?"
Nabi SAW bersabda, "Jika engkau melakukan semua itu, badanmu akan lemah, matamu akan sakit karena tidak tidur semalaman. Sesungguhnya badanmu punya hak, keluargamu juga punya hak, dan para tamupun punya hak atas dirimu…!"
Maka terjadilah "tawar-menawar" antara Abdullah dan Rasulullah SAW dalam soal ibadahnya. Kalau umumnya manusia akan meminta ijin beribadah seringan dan sesedikit mungkin, maka Abdullah meminta ijin untuk beribadah sebanyak dan seberat mungkin. Dalam soal puasa misalnya, Nabi SAW menyarankannya agar berpuasa tiga hari dalam sebulan, tetapi Abdullah minta tambahan, diberi dua hari dalam seminggu, masih minta tambahan lagi, akhirnya ditetapkan Nabi SAW sehari berpuasa sehari berbuka, yakni puasanya Nabi Dawud AS.
Begitu juga dalam soal mengkhatamkan Al Qur'an, pertama Nabi SAW menyarankannya untuk khatam sebulan sekali saja. Abdullah melakukan penawaran, sehingga Nabi SAW menetapkan 20 hari sekali, kemudian 10 hari sekali, dan seminggu sekali. Tetapi Ibnu Amr bin Ash masih meminta lebih lagi, akhirnya Nabi SAW menetapkannya untuk khatam Al Qur’an setiap tiga hari sekali (dalam riwayat lain, lima hari sekali). Begitu juga soal shalat malam, beliau melarang Abdullah menghabiskan waktu malam untuk shalat sunnah terus-menerus, harus ada waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur, dan mempergauli istrinya.
Walau telah dinasehati langsung oleh Nabi SAW, semangatnya untuk beribadah tidak segera mengendor begitu saja, tetapi ia tidak melalaikan kewajiban dan hak-hak keluarga, badan, tamu dan lain-lainnya. Ibadahnya dengan intensitas tinggi masih saja berlangsung tanpa bisa dihalangi lagi. Melihat keadaannya itu, Nabi SAW akhirnya bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak tahu, bisa jadi Allah akan memanjangkan umurmu...!!"
Benarlah apa yang disabdakan Nabi SAW, ia mencapai usia tua, tubuhnya mulai lemah dan tulangnya seakan tak mampu menyangga tubuhnya dalam waktu lama. Ia susah payah menetapi amal istiqomah yang telah "dijanjikannya" kepada Nabi SAW di masa mudanya. Ia jadi menyesal mengapa tidak menerima nasehat beliau saat mudanya itu. Ia seringkali berkata, "Aduhai malangnya nasibku, mengapa tidak aku ikuti keringanan yang diberikan Rasulullah SAW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar