*Putraku Malaikat Surgaku*
Oleh: Dr. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan (Isteri Kang AHER- Gubernur Jawa Barat)
Putraku bukan si juara umum di sekolah, bukan bintang utama di pengajian, juga bukan pemain inti di lapangan futsal, dan tidak juga juara melukis ataupun pemenang lomba beladiri.
Dia adalah anak-anak sepuluh tahun , kelas lima SD, yang senang bermain tiada henti, menikmati keciprak air hujan, mengayuh sepeda menantang angin, dan tak terlalu suka belajar (belajar dalam pengertian umum orang Indonesia, yaitu membaca buku pelajaran sampai hafal titik koma nya).
Ini menyebabkan rumahku tak punya banyak piala.
Terkadang, sebongkah kecewa bergayut di hati, kecewa pada nilai matematikanya yg tak sempurna padahal soalnya gampang, kecewa pada hafalan surat pendek al quran yang masih salah, kecewa pada kegagalan gol karena tendangannya yg lemah.
Mana pialamu , duhai kesayanganku?
Allah, Tuhan yang kuimani berbisik lembut.
“Kamu adalah ibu yang sangaaaaaaaaat jauh dari sempurna, dan putramu tak pernah menuntut lebih, dia ikhlas, tak melayangkan protes atas segala kekuranganmu, lalu kenapa kamu tak membalasnya dengan cara serupa? Kamu sedemikian banyak menuntut dari putramu,” aku terkesiap.
Sekawanan awan sedemikian rendah, gelap, hujan memberi aba-aba mau turun, aku tergopoh mencari jilbab, berlari ke jemuran. Dan disana…. putraku sedang membungkuk memungut jemuran yg berjatuhan, sebelum kusuruh.
Aku tertidur pulas, terbangun mendengar suara berisik di kamar mandi, ternyata putraku sedang memandikan adik bungsunya, berjongkok menyabuni jari-jari kaki adiknya, tanpa kuminta.
Aku heran, kenapa rumah sedemikian damai, tak ada pekikan berebut mainan, ternyata putraku sedang bersimpuh di sudut kamar, membuatkan kapal-kapalan kertas secara adil untuk ketiga adiknya.
Embun dimataku mendesak keluar, ketika hujan turun deras dan putraku dilindungi payung lebar, berjalan ke rumah tetangga kemudian kembali dengan membawa daun sirsak untuk peningkat daya tahan tubuhku.
“Empat belas lembar, udah kupilihin yang bagus-bagus, biar mama cepet sembuh” tangannya terulur menyerahkan daun sirsak, , aku terkapar lemah kala itu.
Mataku menghangat, kuterima dengan seksama, seperti pak presiden menerima bendera pusaka.
Terimakasih putraku, engkau telah memberi piala, dan ini adalah sebenar-benarnya piala, piala yang sesungguhnya untukku.
Nak, ijinkan aku mencium tanganmu, sebagai wujud permohonan maaf atas segala tuntutanku...
Putra putri yang shalih- shalihah... juara yg sesungguhnya.
#sebuah refleksi bagi orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar