Terkadang kita berada dalam posisi yang sulit untuk menolak uang-uang yang tidak jelas yang datang menghampiri. Entah itu karena terdesak oleh kebutuhan atau jabatan kita yang tidak memungkinkan. Jika terpaksa menerima uang-uang haram itu, bolehkah disedekahkan saja kepada yang membutuhkan?
Berikut kutipan penjelasan Ustadz Sigit Pranowo, Lc di eramuslim :
Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum bersedekah dengan harta yang haram :
1. Sebagian ulama tidak membolehkan bersedekah dengan harta yang haram berdasarkan firman Allah swt :
. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الأَرْضِ وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلاَّ أَن تُغْمِضُواْ فِيهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Al Baqoroh : 267)
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah swt baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah swt memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia telah memerintahkan para rasul-Nya dengan firman-Nya
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya : “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mukminun : 51) dan firman-Nya
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS. Al Baqoroh : 172)
Kemudian beliau saw menyebutkan seseorang yang telah melakukan perjalanan jauh yang berambut kusut dan berdebu, orang itu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata,’Wahai Allah… wahai Allah…, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan mengkonsumsi yang haram maka bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim)
Dari nash-nash diatas jelas bahwa amal shalehlah yang diterima Allah swt. Setiap amal kebaikan harus dibiayai dengan harta yang halal sepenuhnya tidak ada syubhat didalamnya karena Allah swt baik dan tidak menerima kecuali yang baik artinya orang yang berinfak dengan harta yang haram ke tempat manapun maka tidaklah ada pahala baginya terhadap apa yang telah diinfakkannya.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seorang muslim telah mengambil harta yang haram maka wajib baginya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya apabila ia mengetahui bahwa orang tersebut masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila orang tersebut sudah meninggal dunia. Dan apabila orang itu tidak diketahui kepastiannya maka hendaklah ia menunggu kehadirannya dan ketika orang itu datang maka harta dan segala keuntungan yang terkait dengan harta tersebut haruslah diberikan kepadanya.
Adapun apabila harta—haram—tersebut milik orang yang tidak diketahuinya, dan sudah ada keputus-asaan dalam mengetahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, ada ahli warisnya atau tidak maka pemilik harta yang haram ini harus mensedekahkannya, seperti menginfakkannya untuk pembangunan masjid, jembatan dan rumah sakit.
Jumhur ulama mendasarkan pendapatnya yaitu bersedekah dengan harta yang haram apabila tidak diketahui pemiliknya, ahli warisnya atau adanya kesulitan untuk mengetahuinya dengan hadits daging kambing panggang dihidangkan kehadapan Rasulullah saw dan aku—sahabat—mengatakan kepadanya bahwa itu haram.dia mengatakan,”Aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya.” Kemudia beliau bersabda,”Berikanlah makan para tawanan dengannya.”
Jumhur juga berdalil dengan qiyas dan mengatakan sesungguhnya harta itu berada diantara dua pilihan yaitu dimusnahkan atau dibelanjakan untuk kebaikan. Prinsipnya bahwa dibelanjakan untuk kebaikan jauh lebih utama daripada dibuang karena dengan dibuang berarti tidak mendatangkan mafaat.
Adapun diberikan kepada orang faqir atau tempat-tempat kebaikan maka akan mengandung manfaat dan memberikan manfaat bagi pemiliknya dengan pahala walaupun bukan dengan kehendaknya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,”Sesungguhnya seorang yang menanam tanaman (buah) baginya pahala pada setiap buah dan tanamannya yang diambil oleh manusia atau burung.” Dan tidak disangsikan lagi bahwa tanaman yang dimakan oleh burung itu bukanlah keinginan petani tersebut namun ia tetap mendapatkan pahala. (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 298 – 300)
Jadi pendapat jumhur ulama bahwa harta yang yang haram lebih baik disedekahkan daripada dibuang apabila sudah tidak diketahui lagi pemiliknya. Namun demikian terkait dengan sedekah dari uang suap perlu kiranya sedikit lebih diperdalam dikarenakan didalam perbuatan tersebut ada pelanggaran terhadap hak manusia dan juga hak Allah swt.
Pemberian suap yang dilakukan seseorang kepada para pejabat mengandung dua kemungkinan :
1. Pemberian itu dilakukan oleh seseorang yang memang mempunyai hak atas sesuatu kemudian mendapatkan hambatan untuk mendapatkannya dari seorang pejabat dan ia akan mendapatkan haknya itu setelah dikeluarkan sejumlah uang atau barang sebagai suap buatnya.
2. Pemberian itu dilakukan atas kesepakatan bersama antara orang yang memberikan dan menerima suap untuk mempermudah urusan orang yang memberikannya padahal ia bukan / belum termasuk orang yang berhak atas urusan tersebut.
Macam yang pertama :
Terhadap orang yang bersedekah dengan uang suapnya :
Apa yang dilakukannya adalah kezhaliman dan memakan harta dengan cara yang batil sehingga tidak diperbolehkan baginya untuk bersedekah atau berinfak dengan harta tersebut ke tempat-tempat kebaikan terlebih lagi untuk da’wah di jalan Allah swt.
Orang itu berkewajiban mengembalikan uang suap tersebut kepada orang yang telah memberikannya jika ia masih hidup atau kepada ahli warisnya jika ia telah meninggal dunia, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari ghulul (mencuri).” (HR. Muslim) Ghulul adalah mengambil harta rampasan perang sebelum ada pembagiannya diantara para tentara dan juga tanpa seizing imam, ini termasuk dalam pencurian.
Terhadap lembaga atau jama’ah da’wah yang menerimanya :
Apabila Lembaga atau Jama’ah Da’wah tersebut mengetahui bahwa sedekah atau sumbangan yang diberikan seseorang atau anggotanya yang juga pejabat negara diperoleh dengan cara seperti disebutkan diatas maka tidak diperbolehkan menerimanya terlebih lagi untuk pembiayaan da’wahnya di jalan Allah swt.
Kisah al Mughiroh bin Syu’bah yang pada masa jahiliyahnya adalah orang yang sering membunuh dan mengambil harta orang-orang yang dibunuhnya kemudian ia menemui Nabi saw setelah masuk islam maka Rasulullah saw mengatakan kepadanya,”Adapun keislamanmu maka aku menerimanya sedangkan hartamu maka aku tidaklah menginginkannya sedikit pun.” (HR. Bukhori) Hal itu menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan menerima harta yang didapat dengan cara yang zhalim.
Sedangkan jika Lembaga atau Jama’ah Da’wah itu tidak mengetahui kejelasan sumber harta yang disedekahkan tersebut maka dalam hal ini pun ada dua kemungkinan :
1. Si pemberi sedekah dengan uang suap tersebut adalah orang yang tidak diketahui, seperti ; ia adalah simpatisan lembaga yang tidak dikenal, orang asing, atau yang menyembunyikan identitasnya maka dibolehkan menerimanya.
2. Si pemberi sedekah dengan uang suap tersebut adalah orang yang dikenal, seperti : seorang simpatisan, pendukung atau anggotanya yang sudah dikenal maka Lembaga atau Jama’ah tersebut sudah seharusnya mencari tahu tentang sumber sedekahnya tersebut dengan bertanya kepadanya dan ini tidaklah sulit karena jumlah simpatisan, pendukung ataupun anggota yang merangkap sebagai pejabat negara tidaklah banyak dan terbatas.
Macam Suap yang Kedua :
Terhadap orang yang bersedekah :
Dalam permasalahan yang kedua ini maka sudah seharusnya seorang yang memiliki perhatian kepada da’wah untuk tidak terlibat didalam hal yang diharamkan ini, sebagaimana dalil-dalil yang ada serta firman Allah swt ;
Artinya : “dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)
Namun apabila hal itu terjadi juga maka uang tersebut tidaklah perlu dikembalikan kepada orang yang memberikannya dikarenakan dalam hal ini yang dilanggar adalah hak Allah swt bukan hak manusia maka diperbolehkan baginya mensedekahkannya kepada Lembaga atau Jama’ah Da’wahnya setelah ia bertaubat dengan taubat nasuha untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Terhadap Lembaga dan Jama’ah Dawah
Jika memang orang tersebut sudah bertaubat terhadap perbuatannya maka diperbolehkan baginya untuk menerimanya karena dosa perbuatan tersebut dikenakan kepada pelakunya saja, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al An’am : 164)
Berdasarkan dalil adalah bahwa Rasulullah saw pernah menerima hadiah berupa daging kambing yang sudah diberi racun oleh seorang Yahudi. Umar bin Khottob pernah menerima jizyah seorang kafir dzimmi dari hasil penjualan khomr.
Ibnu Mas’ud pernah didatangi seseorang dan mengatakan,”Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang suka makan riba dan orang itu sering mengundangku.” Ibnu Mas’ud menjawab,”Tidak mengapa engkau memenuhinya dan dosanya adalah untuk orang itu.” (Mushannif Abdur Razaq juz VIII hal 150)
Dalam hal ini kewajiban Lembaga atau Jama’ah Da’wahnya untuk mengingatkan dan menasehatinya agar bertaubat dan tidak mengulangi lagi perbuatan tersebut demi kebersihan dirinya dan jama’ahnya.
Namun apabila orang itu masih mengulangi perbuatan tersebut serta mensedekahkannya untuk dana da’wah dijalan Allah seharusnya pihak Lembaga atau Jama’ah tidak menerimanya karena pihak Lembaga sudah mengetahui sumber pendapatan harta yang disedekahkannya tersebut. Dan jika hal itu masih diterimanya maka ini termasuk dalam membantunya untuk melakukan suatu kemaksiatan, sebagaimana perkataan Ibrahim an Nakh’i,”Ambillah (hadiah orang yang memakan riba) selama engkau tidak menyuruh atau membantunya.” (Mushannif Abdur Razaq juz VIII hal 151)
Demikianlah terkait dengan penerimaan terhadap sedekah atau sumbangan untuk kepentingan da;wah di jalan Allah yang berasal dari suap atau harta-harta lainnya yang diharamkan oleh Allah swt.
Tentunya suatu kebaikan terlebih lagi da’wah menyeru dijalan Allah haruslah betul-betul didanai oleh sumber-sumber yang jelas kehalalannya agar semua yang dilakukan mendapatkan redho dan berkah dari Allah swt.
Menurut hemat saya tetap lebih baik untuk tidak menggunakan harta yang syubhat untuk kepentingan da’wah dan kemaslahatan umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samara) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa yang menghindari perkara yang syubhat maka ia telah membersihkan diri dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh kedalam perkara syubhat maka ia telah jatuh kedalam perkara yang haram.” (HR. Bukhori Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar