Minggu, 31 Juli 2016
Sopir Angkot sholeh ( sebuah kisah inspiratif)
Tawakal
Sore kemarin ada yang menarik terjadi.
Saya naik angkot Riung Bandung dari simpang dago. Karena kursi di depan kosong, jadilah saya pilih duduk di depan, di sebelah pak sopir. Awalnya gak ada interaksi positif yang terjadi, sampai akhirnya mobil sampailah di sekitar gedung sate.
(Aslinya obrolan pakai bahasa Sunda, tapi saya terjemahkan dan rangkum biar lebih ringkas...obrolan terjadi hampir selama dua jam.)
"Mau turun di mana?", tanyanya pada saya. "Riung, pak". "Neng, Bu, turun di mana?", tanyanya pada penumpang lainnya. "Kiara condong.". Tidak ada yang aneh saya rasa dengan pertanyaan itu.
Pas di depan Pusdai, angkot tidak belok kanan ke jalan Citarum tapi lurus ke Supratman, jalan lebih pendek tapi konsekuensi gak bisa dapat muatan. Jadilah saya bertanya, "Mau langsung pulang pak?". "Enggak, saya ngepasin waktu, mau shalat Maghrib. Kalau hanya sampai Kiara condong rasa-rasanya masih cukup.", Jleb...cukup menohok jawabannya.
(Komentar saya gak dimasukkan, soalnya gak penting nambah nilai obrolan ini...)
"Kalau udah biasa shalat apalagi berjamaah mah rasanya ada beban kalau udah masuk waktu shalat masih di jalan. Saya mah kalau masuk waktu shalat insya Allah mengusahakan buat berhenti dulu. Terutama Maghrib yang waktunya pendek. Ya, sebelumnya minta maaf dulu sama seluruh penumpang yang saya turunkan di jalan. Semua penumpang gak akan saya tarik bayaran, bayarnya ke angkot selanjutnya saja."
"Gak perlu rasanya terlalu semangat mencari uang, sampai mengorbankan kewajiban utama kita. Cari nafkah itu wajib, tapi shalat lebih wajib. Yang penting itu bawa rejeki yang barokah. Bawa 100 ribu atau 10 ribu asal barokah mah insyaallah bermanfaat. Allah itu gak akan marah kalau kita mati gak punya mobil atau gak punya rumah. Tapi Allah akan marah kalau kita mati gak punya iman. Bahkan Rasulullah pun pernah berdoa supaya dimatikan dalam keadaan miskin supaya hisabnya ringan."
Tak lama sampailah kami di Kiara condong, semua sudah turun kecuali saya. "Maaf atuh mas, cuma bisa ngantar sampai Kiara condong.". "Sekalian saya juga mau shalat kok pak, bareng aja.". Lalu kami shalat di pom bensin terdekat. Setelah shalat, saya dibelikan kopi di tukang rokok langganannya di pinggir rel. Lanjutlah kami mengobrol.
"Saya mah bawa mobil ini mah anggap aja sebagai jembatan shirotol mustaqim, yang akan melalukan saya ke kehidupan selanjutnya. Saya juga ingin supaya mobil ini jadi saksi kalau saya ini banyak beribadah. Mobil ini sudah sering berhenti di banyak masjid. Saya pernah sebelumnya punya banyak mobil, ada yang angkot ada yang mobil biasa. Tapi ya kok gak bikin saya tenang, soalnya waktu itu mobil-mobil itu berhubungan dengan riba. Akhirnya saya lepas semuanya. Mendingan satu ini aja tapi bebas dari riba."
"Saya mah kalau di jalan, pas mobil kosong ya biasa aja, gak jadi kesel kalau mobil teman penuh. Lha kan kita juga pernah merasakan angkotnya penuh. Kadang teman-teman suka ada yang kesal kalau mobilnya kosong sedangkan yang lain penuh. Padahal kalau gitu berarti kita punya penyakit hati. Saya mah selalu minta sama Allah supaya dijauhkan dari penyakit hati seperti itu."
"Pas kita nanti mati mah yang dibawa kan cuma harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang diamalkan dan diajarkan dan anak Sholeh yang mendoakan. Tapi ingat, kalau mau punya anak shaleh, orang tuanya harus shaleh dulu. Apa yang dilakukan anak itu bisa jadi cerminan perilaku kita."
"Kita itu harus banyak beramal, supaya umur kita panjang. Bukan berarti umur tubuh kita, tapi umur dari kebaikan yang kita lakukan yang terus akan memberi manfaat dan diingat oleh orang yang ditinggalkan."
Terus kami mengobrol sampai akhirnya sampailah kami di Riung Bandung. Ah rasanya masih kurang lama saya menimba ilmu dari beliau. Mudah-mudahan perjalanan bapak setiap hari dari Riung ke Dago menjadi perjalanan ibadah dan dakwah. Dan ilmu yang disampaikan terus memberikan manfaat buat semuanya...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar