Dapet dari kawan.moga bermanfaat.
*[Studi Komparatif Makna ‘Awliya’ dalam al-Maidah 51 dari 20 Kitab Tafsir]*
Telah datang beberapa pesan di HP kami, menanyakan (lagi-lagi) perihal kehebohan penerjemahan *‘awliya’* sebagai ‘teman setia’. Kami pikir, tidaklah perlu dihebohkan sekiranya kita merujuk ke kitab-kitab tafsir karya ulama. Ini sekadar masalah penerjemahan hasil tafsiran yang jikapun bukan berarti ‘pemimpin’, maka ada arti lain yang lebih rendah derajatnya daripada ‘pemimpin’. Dan jangan merasa dirugikan dengan terjemahan seperti itu, melainkan justru umat Islam lebih ‘diuntungkan’; karena ia lebih menohok.
Berikut kami tuturkan kutipan-kutipan singkat dari 20 kitab tafsir. Kami urutkan dari zaman ke zaman. Dimulai dari yang paling klasik hingga kontemporer. Dan saya harap kepada Allah semoga ini menjadi peringan masalah dan keributan kemudian menjadikan umat Islam sadar akan pentingnya kajian tafsir. Ya. Sekali lagi, ikhwah: kajian tafsir yang benar-benar mengkaji tafsir itu PENTING. Maka setelah kehebohan ini, mohon masing-masing bersimpuh di majelis-majelis para ustadznya menyimak ilmu tafsir. Baarakallaahu fiikum. Semoga Allah merahmati Anda sekalian, saudaraku muslimin.
💡0⃣1⃣ IBNU JARIR ATH-THABARY (w. 310 H), menafsirkan awliya’ sebagai anshar dan hulafa’. Anshar adalah penolong dan hulafa’ adalah sekutu atau sekongkol. Sebagaimana beliau mengatakan (tafsiran awal ayat):
إن الله تعالى ذكره نهَىَ المؤمنين جميعا أن يتخذوا اليهود والنصارى أنصارًا وحلفاءَ على أهل الإيمان بالله ورسوله وغيرَهم
“Bahwasanya Allah Ta’ala melarang orang-orang beriman semuanya menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai anshar (para penolong) dan hulafa (teman sekongkol) terhadap orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, dan (melarang menjadikan untuk) selainnya (yakni: selain Yahudi dan Nashrani Ahli Kitab dari agama kafir).” [Jaami’ al-Bayaan, 10/398, tahqiq Ahmad Syakir, Mu’assasah ar-Risalah Beirut, 1420 H]
💡0⃣2⃣ ABU MANSHUR AL-MATURIDY (w. 333 H), menyimpulkan ada dua tafsiran terhadap penggunaan kata awliya ini.
Tafsiran Pertama: Adalah tafsiran yang bermakna pelarangan menyerupai cara beragama mereka. Perkataan beliau:
لا تتخذوا أولياء في الدِّين، أي: لا تدينوا بدينهم؛ فإنكم إذا دنتم بدينهم صرتم أولياءهم.
“Janganlah kalian jadikan (mereka) para awliya dalam beragama, yakni: janganlah kalian beragama dengan agama mereka. Jika kalian beragama dengan agama mereka, maka kalian akan menjadi awliya mereka.” [Tafsir al-Maturidy, 3/537, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1426 H]
Untuk tafsiran pertama ini, bisa dimungkinkan untuk terpahami bahwa maksud awliya adalah sahabat atau teman setia. Dan tidaklah jadi teman setia mereka kecuali sepemahaman dengan mereka sekalipun memakai songkok dan dulunya ngaji.
Tafsiran Kedua: Adalah tafsiran yang tidak jauh berbeda dengan penjabaran ath-Thabary. Berikut teksnya:
لا تتخذوهم أولياء في النصر والمعونة؛ لأنهم إذا اتخذوهم أولياء في النصر والمعونة صاروا أمثالهم؛ لأنهم إذا نصروا الكفار على المسلمين وأعانوهم فقد كفروا
“Janganlah kalian menjadikan mereka para awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan. Karena jika mereka (orang-orang beriman) menjadikan mereka (Yahudi dan Nashrani) sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan, maka mereka akan menjadi sama dengan mereka (Yahudi dan Nashrani). Karena jika mereka membantu orang-orang kafir (dalam memerangi) orang-orang Muslim, maka mereka telah kufur!” [Tafsir al-Maturidy, 3/537]
💡0⃣3⃣ AN-NAHHAS (w. 338 H) dalam kitabnya I’rab al-Qur’an, tidak menyebut tafsiran sinonim dari awliya, melainkan menyebutkan kewajiban ber-mu’adah (المعاداة) yaitu memusuhi orang-orang kafir tersebut. Mafhum mukhalafah (opposite understanding) dari tuturan beliau adalah: haram menjadikan mereka sahabat atau ‘teman setia’. [lihat: I’rab al-Qur’an, 1/271, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1421 H)
Dan dijadikan sahabat atau ‘teman setia’ saja tidak boleh, apalagi dijadikan pemimpin.
💡0⃣4⃣ AL-JASHSHASH (w. 370 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
الْوِلَايَةَ ضِدُّ الْعَدَاوَةِ
“Al-Wilayah adalah lawan (kata) dari al-adawah (permusuhan).” [Ahkam al-Qur’an, 4/99, Dar Ihya’ at-Turats, cet. 1405 H)
Dan lawan kata musuh adalah teman (dekat). Ketika dilarang berteman dekat, maka lebih-lebih mengusungnya menjadi pemimpin.
💡0⃣5⃣ ABU AL-LAITS AS-SAMARQANDY (w. 373 H) bermadzhab Fiqh Hanafy, mengatakan:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ في العون والنصرة
“Jangan kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan dan pertolongan.” [Bahr al-Ulum, 1/397]
💡0⃣6⃣ MAKKY BIN ABU THALIB (w. 437 H) bermadzhab Fiqh Maliky dari tanah Andalusia, memaknai awliya sebagai anshar (penolong). Sebagaimana beliau menafsirkan kalimat dalam ayat بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ dengan tafsiran berikut:
اليهود بعضهم أنصار بعض
“Orang Yahudi sebagiannya adalah ANSHAR (penolong) sebagian lainnya.” [Al-Hidayah ila Bulugh an-Nihayah, 3/1778, Maktab al-Buhuts, cet. 1429 H]
💡0⃣7⃣ AL-BAGHAWY (w. 510 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I juga mengatakan pelarangan menjadikan mereka sebagai awliya dalam urusan pertolongan dan bantuan atas kaum muslimin, dengan kalimat (tidak saya terjemahkan karena berulang maknanya):
بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ، فِي الْعَوْنِ وَالنُّصْرَةِ وَيَدُهُمْ وَاحِدَةٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
[Ma’alim at-Tanzil, 2/58, Dar Ihya at-Turats al-Araby, cet. 1420 H]
💡0⃣8⃣ AZ-ZAMAKHSYARY (w. 538 H) bermadzhab Fiqh Hanafy lebih terang lagi dalam menafsirkan awal ayat tersebut dengan kalimat:
لا تتخذوهم أولياء تنصرونهم وتستنصرونهم وتؤاخونهم وتصافونهم وتعاشرونهم معاشرة المؤمنين
“Jangan kalian jadikan mereka awliya (dengan cara): kalian menolong mereka, meminta pertolongan kepada mereka, mempersaudarakan (menganggap mereka saudara), bersikap lembut kepada mereka, dan berinteraksi dengan mereka seperti interaksi kalian terhadap sesama mukmin!” [al-Kasysyaf, 1/642, Dar al-Kutub al-Araby, cet. 1407 H]
💡0⃣9⃣ IBNU ATHIYYAH AL-ANDALUSY (w. 542 H) bermadzhab Fiqh Maliky menyebutkan:
نهى الله تعالى المؤمنين بهذه الآية عن اتخاذ اليهود والنصارى أولياء في النصرة والخلطة المؤدية إلى الامتزاج والمعاضدة
“Allah melarang orang-orang beriman dengan ayat ini dari menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai awliya dalam (urusan) bantuan, BERBAUR yang menyebabkan percampuran (dalam masalah sikap beragama –Hasan-) dan saling kuat menguatkan!” [Al-Muharrar al-Wajiz, 2/203, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1422 H]
💡1⃣0⃣ FAKHRUDDIN AR-RAZY (w. 606 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan secara jelas dengan kalimat beliau:
وَمَعْنَى لَا تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لَا تَعْتَمِدُوا عَلَى الِاسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلَا تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
“Makna “Jangan kalian jadikan mereka awliya” adalah: Jangan bersandar/andalkan mereka dengan meminta bantuan, dan JANGAN BERKASIH SAYANG dengan mereka.” [Mafatih al-Ghayb, 12/375, Dar Ihya’ at-Turats, cet. 1420 H]
💡1⃣1⃣ ABU ABDILLAH AL-QURTHUBY AL-ANDALUSY (w. 671 H) bermadzhab Fiqh Maliky menginfokan kepada kita:
وَقِيلَ: إِنَّ مَعْنَى" بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ" أي في النصرة"
“Dikatakan (oleh sebagian ulama): bahwasanya makna “sebagian dari mereka adalah awliya sebagian lainnya”, yakni (maksudnya) dalam hal tolong-menolong.” [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 6/217, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet. 1384 H]
Berarti, bisa dimaknai sebagai ‘teman yang menolong’.
💡1⃣2⃣ NASHIRUDDIN AL-BAYDHAWY (w. 685 H) bermadzhab Fiqh Syafi’I menafsirkan awal ayat tersebut dengan:
لا تعتمدوا عليهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka (Yahudi dan Nashrani) dan jangan kalian pergauli mereka seperti pergaulan terhadap ahbab (orang yang kalian sukai).” [Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, 2/130, cet. Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
Dilarangnya bergaul dengan mereka seolah bergaul dengan orang yang kita suka menunjukkan: dilarang menjadikan mereka sebagai teman dekat/setia.
Ditambah dengan penekanan beliau setelah beberapa kalimat kemudian:
وهذا التشديد في وجوب مجانبتهم
“Dan ini adalah suatu tasydid (penekanan/emphasis) perihal WAJIBNYA menyelisihi/menjauhi mereka.” [ibid]
Kalam di atas menunjukkan lebih jelas lagi. Jika menyelisihi saja wajib, maka tentu menjadikan ‘teman setia’ adalah haram. Dan menjadikan teman setia saja terlarang dan haram, maka bagaimana dengan menjadikan mereka sebagai pemimpin?
💡1⃣3⃣ ABU HAYYAN AL-ANDALUSY (w. 745 H), sang pakar Nahwu juga menafsirkan (tidak perlu saya terjemahkan karena berulang):
نَهَى تَعَالَى الْمُؤْمِنِينَ عَنْ مُوَالَاةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى يَنْصُرُونَهُمْ وَيَسْتَنْصِرُونَ بِهِمْ، وَيُعَاشِرُونَهُمْ مُعَاشَرَةَ الْمُؤْمِنِينَ
[AL-Bahr al-Muhith fi at-Tafsir, 4/291, Dar al-Fikr, cet. 1420 H]
💡1⃣4⃣ ABU ZAID AST-TSA'ALIBY (w. 875 H) juga berkata sama persis dengan kalimat Ibnu Athiyyah dari al-Muharrar al-Wajiz:
نهى اللَّه سبحانه المؤمنين بهذه الآية عَن اتخاذِ اليهودِ والنصارى أولياءَ في النُّصْرة والخُلْطة المؤدِّية إلى الامتزاج والمعاضَدَة
[Al-Jawahir al-Hisan, 2/392, Dar Ihya’ at-Turats al-Araby, cet. 1418 H]
💡1⃣5⃣ IBRAHIM AL-BIQA'IY (w. 885 H) dalam kitab besarnya Nazhm ad-Durar menyebutkan dengan jelas tafsiran awliya:
أولياء أي أقرباء تفعلون معهم ما يفعل القريب مع قريبه، وترجون منهم مثل ذلك
“Awliya, yaitu: AQRIBA (kerabat/orang dekat), kalian berlaku bersama mereka sebagaimana seorang karib berlaku bersama karibnya, dan kalian mengharapkan dari mereka perlakuan serupa!” [Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, 6/186, Dar al-Kitab al-Islamy Kairo]
Yang bisa disebut juga sesuai tafsiran di atas: ‘teman setia’. Jika menjadikan mereka ‘teman setia’ saja dilarang, apalagi menjadikan mereka pemimpin?!
💡1⃣6⃣ NI'MATULLAH ILWAN (w. 920 H) menjelaskan penafsiran ayat tersebut dengan kalimat:
لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ توالونهم وتصاحبونهم مثل موالاة المؤمنين ولا تعتمدوا ولا تثقوا بمحبتهم ومودتهم
“Janganlah kalian jadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliya yang kalian berwala’ (berkasih sayang) pada mereka dan bersahabat dengan mereka, seperti kasih sayangnya (kalian) terhadap orang-orang beriman! Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka. Jangan kalian percayai cinta dan kasih sayang mereka!” [Al-Fawatih al-Ilahiyyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah, 1/196, Dar Rukkaby, cet. 1419 H]
💡1⃣7⃣ ASY-SYAUKANY (w. 1250 H) menafsirkan pelarangan tersebut dengan kalimat berikut:
الْمُرَادُ مِنَ النَّهْيِ عَنِ اتِّخَاذِهِمْ أَوْلِيَاءَ أَنْ يُعَامَلُوا مُعَامَلَةَ الأولياء في المصادقة وَالْمُعَاشَرَةِ وَالْمُنَاصَرَةِ
“Yang dimaksud dari larangan menjadikan mereka sebagai awliya adalah: (pelarangan) terhadap menyikapi mereka seperti menyikapi orang-orang tersayang dalam urusan mushadaqah (saling percaya), mu’asyarah (interaksi sosial) dan munasharah (saling bahu membahu).” [Fath al-Qadir, 2/57, Dar Ibn Katsir, cet. 1414 H]
💡1⃣8⃣ Ulama kelahiran nusantara, MUHAMMAD BIN UMAR AL-BANTANY AL-JAWY (w. 1316 H) mengatakan sebagai penafsiran terhadap awal ayat:
لا تعتمدوا على الاستنصار بهم ولا تعاشروهم معاشرة الأحباب
“Jangan kalian bersandar/mengandalkan mereka dalam (urusan) mencari bantuan. Dan jangan perlakukan mereka seperti perlakuan (kalian terhadap) ahbab (orang-orang tercinta).” [Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid, 1/274, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1417 H]
Ahbab: orang-orang tercinta, bukan hanya termasuk di dalamnya kekasih, melainkan sahabat atau teman dekat atau teman setia. Karena tiada kesetiaan kecuali kalau ada sayang (hubb). Jika itu saja dilarang, maka apalagi untuk dijadikan pemimpin?!
💡1⃣9⃣ ATH-THAHIR IBN ASYUR (w. 1393 H), ulama fenomenal Tunisia, memberitakan suatu hal penting tentang kosakata al-wilayah (bentuk mashdar untuk wali/awliya):
الْوَلَايَةَ تَنْبَنِي عَلَى الْوِفَاقِ وَالْوِئَامِ وَالصِّلَةِ
“Al-Wilayah itu berdasarkan ketercocokan, PERSAHABATAN dan relationship.” [At-Tahrir wa at-Tanwir, 6/228, ad-Dar at-Tunisiyyah, cet. 1984 M]
Juga beliau katakan:
الْوَلَايَةُ هُنَا وَلَايَةُ الْمَوَدَّةِ وَالنُّصْرَةِ
“Al-Wilayah di ayat ini adalah al-wilayah dalam (urusan) mawaddah (berkasih sayang) dan nushrah (bahu membahu).” [ibid]
💡2⃣0⃣ ABU BAKR AL-JAZAIRY –hafizhahullah- memiliki kitab tafsir masyhur dan indah bernama Aysar at-Tafasir li Kalam al-Aliy al-Kabir yang diterjemahkan menjadi Tafsir al-Aisar yang selama ini kami kaji. Beliau berkata
أَوْلِيَاءَ : لكم توالونهم بالنصرة والمحبة
“Awliya” (maksudnya): kalian berwala’ kepada mereka (Yahudi dan Nashrani) dalam (urusan) pertolongan dan rasa suka.” [Aysar at-Tafasir, 1/641, Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, cet. 1424 H]
Selesai sudah nukilan dari 20 kitab tafsir. Yang sebenarnya, dalam literatur Islam, masih banyak kitab-kitab tafsir yang belum dinukil darinya di dokumentasi ini. Disebabkan kekhawatiran akan berkepanjangan berlebih. Semoga Allah berikan taufiq.
Berangkat dari beragam penafsiran dan penjelasan ulama, maka kami –yang semoga Allah maafkan dan beri hidayah- sendiri tidak serta merta menyangkal penerjemahan ‘awliya’ sebagai ‘teman setia’. Justru makna tersebut semakin menekankan akan tidak bolehnya menjadikan orang kafir (entah Yahudi, Nashrani, Budha, Hindu, Atheis dan lainnya) sebagai pemimpin. Jika jadi teman setia saja dilarang, maka bagaimana jadi pemimpin?
Ini dalam pembahasan Ushul Fiqh, bisa disebut pula masuk kategori al-Qiyas al-Awlawy, yaitu pengkiasan terhadap hal yang lebih utama lagi.
Dan harapnya terjemahan semacam ini tidak dipusingkan. Karena yang perlu lebih kita pikirkan sekarang adalah kita sebenarnya telah 'ditegur' agar belajar lebih baik lagi, lebih sistematis, lebih serius belajar dari kitab-kitab dan kita sama-sama begrharap semoga Allah Ta'ala mengembalikan kejayaan keilmuan kaum Muslimin. Baarakallaahu fiikum.
Ditulis oleh: Hasan al-Jaizy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar